Tak Bisakah Dia Romantis
Gerimis malam itu masih saja belum reda. Yunita tetap saja menanti berhentinya kereta api di stasiun Gambir, menunggu kepulangan Ulul yang selalu dia nantikan suara lembutnya. Dia sangat rindu pada temannya dan rindu itu dirasa amat menyekam setelah hampir satu tahun ini mereka terpisah pada jarak. Ulul berkuliah di yogyakarta sedangkan Yunita sendiri meneruskan kuliahnya di Jakarta.

Kereta api sudah berhenti dan penumpang berhuyung-huyung turun. Matanya sibuk mencari Ulul diantara kerumunan orang berlalu-lalang. Namun sayang tak dia dapati Ulul di sana. Janjinya untuk datang menemui Yunita dirasa hanya janji belaka. Kesetiaannya menunggunya di stasiun selama dua jam berlalu begitu saja. Amat dingin diarasa udara malam itu, tapi hati dialah yang lebih merasakan dingin. Mimpinya yang saat itu akan dia rasakan pelukan hangat Ulul serasa melayang jauh bersama sepinya stasiun.

        Yunita masih saja berdiri termangu. Matanya sudah basah akan air mata, menahan gejola hati yang kian membara.
        “Hai…lama ya nunggu aku” ucap seseorang lembut.
Yunita berbalik arah. Matanya melotot terkejut melihat Ulul telah berdiri di depannya seraya menunjukkan senyum manisnya. Yunita hanya tersenyum haru dan semenit kemudian dia segera merangkul Ulul, melepaskan kerindukannya pada Ulul selama ini.

        “Kamu membuatku hampir menangis Lul” ucap Yunita di sela isakan tangisnya.
        “Bukan hampir tapi emang sudah kan?” canda Ulul. Yunita memukul kecil dada Ulul. Merasa haru sekaligus bahagia. Abim hanya tertawa kecil dan mendekapku erat.
        “kita pulang yuk..” ajak Ulul.

Yunita termangu sesaat. Kecupan lembut yang begitu dia rindukan tak dia dapati saat itu. Sikap Ulul yang selau kaku tetap dia dapati meski telah satu tahun mereka  terpisah pada jarak. Ulul bukanlah tipe cowok romantis. Ulul adalah cowok tegas dan bijaksana yang tak pernah memberinya belaian lembut kecuali dengan canda dan leluconnya. Namun begitu Yunita selalu sayang dan cinta dia. Dia sendiri yakin bahwa Ulul juga mencintainya. Buktinya selama lebih tiga tahun mereka pacaran tak sekalipun Ulul menyakiti Yunita. Ulul selau membuatnya tertawa diantara nada-nada humornya. Selama mereka pacaran cuma sekali Ulul mencium Yunita ketika ia ulang tahun dan itupun juga di kening.

        “Heh..kok ngelamun sih, pulang yuk.” Kata Ulul mengagetkan Yunita. Yunita mengangguk pelan dan membiarkan Ulul menggandeng tangan Yunita. Ada yang janggal saat itu dirasakannya. Ya.. Ulul mau menggandengnya.


        Satu jam telah berlalu sia-sia. Ulul tak kunjung datang malam itu sesuai janjinya untuk menemui Yunita di taman. Yunita hanya sabar menunggu meski setiap menit malam itu dia rasakan penuh dengan rasa iri ketika melihat pasangan yang lain tengah memadu kasih. Romantis sekali. Dia jadi teringat akan kata-kata Ikfi tadi siang yang membuat perasaannya bimbang.
        “menurut ku pacaran tanpa belaian dan ciuman itu ibarat makan tanpa lauk, kurang lengkap.” Ceplos Ikfi mengomentari Yunita ketika ia menceritakan tentang sikap Ulul selama mereka pacaran. Mendengar komentar Ikfi, Yunita hanya tertunduk.
        “Coba kamu pikir selama kamu pacaran apa yang sudah Ulul kasih ke kamu. Cuma kasih sayang? Itu kurang non, apa kamu cukup puas dengan ngerasain kasih sayang itu dan apa kamu sudah pernah dapat wujud dari kasih sayang itu?”
        “maksud mu?”tanyaku tak mengerti.
        “misalnya kalau dia apel dia ngasih setangkai mawar buat kamu atau setidaknya dia mencium kening mu sebagai ungkapan dia sayang dan cinta sama kamu”
        “Ulul memang tidak pernah melakukannya Fi…” kata Yunita datar.
        “Lha terus kenapa kamu betah. Cowok nggak romantis gitu kenapa masih kamu pertahankan. Bisa makan ati tahu nggak! Boro-boro kamu dibelai, dipegang saja tidak. Menurut ku cowok seperti itu tidak bisa menghargai arti cinta. kamu benda hidup Yun, yang kadang juga ingin disentuh, tapi sayangnya kamu bego jika harus rela menyerahkan hati mu pada dia.” ucap Ikfi panjang lebar yang selalu mengiang-ngiang di telingaku.

“Apa benar kata Ikfi? Entahlah aku sendiri tak mengerti. Kadang aku sendiri sempat berfikir apa benar Ulul mencintaiku, karena selama ini Ulul tak sekalipun membelaiku ketika dia apel. Hatiku benar-benar sakit mengingat itu semua. Ulul bukanlah tipe cowok romantis yang selau kuimpikan, Ulul yang selau bersikap biasa bila bersamaku dan anehnya semua itu kujalani begitu saja selama tiga tahun lebih, bukan waktu yang singkat memang, karena itu aku selalu berusaha menepis jauh-jauh kegundahanku soal cowok romantis.”
Tapi tidak dengan malam itu. Ketidaksabaran Yunita menunggu Ulul yang molor datang membuat dia semakin yakin kalau Ulul tidak menyayanginya ataupun mencintainya. Hubungan itu hanya sebagai hubungan berstatus pacaran tapi tanpa cinta. Meskipun tiga tahun yang lalu Ulul resmi mengikrarkan cintanya pada Yunita.
        “Kamu lama ya menugguku? Maaf mobilku mogok tadi” kata Ulul menghentikan niat Yunita yang ingin meniggalkan taman saat itu juga.              
        “Tidak ada alasan lain?” Tanya Yunita sinis. Ulul menatap dia dengan janggal.
        “Kamu marah Ta?”, tanya Ulul datar.
Yunita hanya acuh tak acuh. Yunita ingin tahu bagaimana reaksi Ulul jika melihat dia marah. Yunita ingin Ulul mengerti apa yang dia iginkan, menjadi cowok romantis itulah mimpinya. Tidak seperti saat itu. Yunita dan Ulul duduk dalam jarak setengah meter. Tidak dekat dan mesra-mesraan seperti pasangan lain malam itu.
        “Ta maafin aku, tapi mobilku emang tadi mogok.”
        “Kamu kan bisa telepon atau sms aku Lul, bukan dengan cara membiarkanku menuggumu kayak gini.”
        “Aku lupa bawa Hp Ta.”, ucapnya pelan. Aku tetap tak mengindahkannya.
        “Kamu tahu tidak Lul, malam ini aku semakin yakin kalau kamu memang tidak pernah serius mencintaiku” papar Yunita tersendat.
        “Ta kenapa kamu bicara seperti itu. Apa kamu kira selama tiga tahun lebih kita pacaran aku hanya iseng saja. Aku pikir kamu bisa paham tentang aku, tapi nyatanya…”
        “Ya aku memang tidak paham tentang kamu. Kamu yang kaku dan beku bila di sampingku yang tidak pernah membelaiku dan mengucapkan kalimat-kalimat indah di telingaku. Kamu yang cuma sekali mencium dan berkata aku cinta kamu. Kamu yang tidak memberiku perhatian-perhatian romantis selama ini. Kamu..kamu Lul membuatku muak dengan semua ini”, kata Yunita dengan nada tersendat.      
Mata Yunita telah tergenang air hangat dan dia sunguh tidak sanggup lagi membendungnya.      
        “Jadi kamu pikir cinta cuma bisa diungkapkan dengan keromantisan Ta, kamu kira apa hubunga kita terjalin tanpa rasa apa-apa dariku?”, tanya Ulul.
Yunita masih terdiam bisu dalam tangisnya.
        “Ta..selama ini aku mengira kamu sudah mengerti banyak tentang aku, tapi ternyata aku salah. Kamu bukan Yunitaku yang dulu..”
        “Kamu memang salah menilai aku dan akupun juga salah menilai kamu. Menilai tentang hatimu dan tentang cintamu selama ini”
        “Perlu kamu tahu Ta aku sangat mencintaimu dan sayangnya rasa cintaku ini harus kamu tuntut dengan keromantisan”
        “Aku tidak bermaksud menuntut Lul, aku cuma ingin hubungan kita indah seperti orang lain”
        “Wujud dari keindahan itu bukan terletak pada keromantisan Ta tapi terletak pada cinta itu sendiri. Aku tidak pernah membelai dan menciummu karena aku menghormati cinta kita. Aku tidak ingin hubungan kita menjadi ternoda dengan hal-hal yang dimulai dari belaian ataupun ciuman. Aku sayang kamu dan dengan itulah aku bisa buktikan seberapa dalam aku mencintaimu”
Dada Yunita berdesir seketika. Segera dia tatap mata teduh Ulul. Disana ia dapati keteduhan cinta dan kasihnya.
        “Ta…jika kamu anggap cinta cuma bisa dinyatakan dengan sentuhan-sentuhan keromantisan itu salah. Cinta bukan cuma itu saja. Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa menjaga hubungan suci itu tetap suci sampai kita benar-benar terikat pada hubungan yang halal. Selama ini aku kira kamu bisa mengrti itu semua. Tapi aku salah dan untuk itu aku minta maaf jika aku tidak bisa menjadi seperti apa yang kamu mau”
        “Lul aku cuma..”, ucap Yunita tak terteruskan.
Ada rasa sesak yang keluar begitu saja di hatinya. Yunita telah melukai Ulul dan itu bisa ia lihat dari kalimat datarnya.
        “Kamu tidak salah Ta dalam hal ini. Dan sepautnya aku melepaskanmu malam ini, membiarkanmu mencari cowok romantis seperti harapanmu. Jangan kamu kira aku tidak pernah mencintaimu, karena itu membuatku terluka. Jujur selama hidaupku aku tidak pernah memikirkan gadis lain selain dirimu”
Bersaman kalimat itu Ulul berlalu meninggalkannya. Entah…kenapa bibir Yunita tak mampu mencegah langkah Ulul. Semua ia rasa bagai mimpi. Hanya dengan satu kesalahan ia buat semua berakhir dalam sekejap. Air matanyapun sudah mengalir deras. Seharusnya ia bangga memiliki Ulul yang tidak pernah neko-neko. Seharusnya aku tidak mendengarkan pendapat-pendapat Ikfi tentang cowok romantis. Seharusnya aku tidak membuat Ulul terluka saat itu.


        Kereta api di stasiun Balapan sudah berangkat dua menit setelah ia tiba di sana. Yunita berlari kesana-kemari memanggil-manggil nama Ulul dari jendela satu ke jendela lain. Namun usahanya itu tanpa hasil. Kereta api dengan perlahan telah membawa Ululnya dan juga cintanya pergi jauh. Yunita berdiri terpaku melihat kereta api yang kian menjauh. Sesalnya menumpuk. Yunita datang terlambat hingga tidak sempat mengatakan maafnya pada Ulul.
        Kini Yunita mulai sadar bahwa tidak ada yang lebih bisa membahagiakannya kecuali dengan kehadiran Ulul. Bagaimanapun dia, romantis ataupun tidak dialah orang yang benar-benar ia cintai. Kenangan-kengan indah bersamanya walau tanpa kemesraan saat itu membelainya dengan rasa yang teramat. Asanya telah pergi dan itu cuma bisa ia lakukan dengan menangis terpaku di tempatnya berdiri. Hidupnya tiada arti tanpa Ulul, dengan mencintainya apa adanya itu sudah lebih dari cukup. Tidak ada lagi tuntutan untuk dia berubah menjadi Ulul yang romantis. Rasa sesal telah membuatnya menyimpan permintaan maaf untuk Ulul.
        Sampai dadanya tersentak merasakan tangan seseorang meraih bahunya Yunita. Ia menatap tajam wajah itu. Mata teduh yang selalu membuatnya merasa damai jika didekat Ulul. Kelebutan jiwanya senantiasa menyuguhkan warna indah dalam memori dan sungguh tidak ada yang lebih romantis selain Ulul….

v 

v  FUNGSI ANGKLUNG
v  Angklung yang dibunyikan dengan cara digoyang-goyangkan adalah termasuk golongan lonceng. Seperti lonceng, angklung bersifat khidmat serta biasa digunakan dalam hubungan kegiatan ritual. Di beberapa tempat di Bali angklung biasa digunakan khusus dalam upacara Pengaben (pembakaran mayat). Namun dewasa ini hal itu terbatas pada kelomopok penduduk yang tidak memiliki angklung metalopon, seperti penduduk Banjar Tegalingah, Karangasem.
Orang Baduy di Kanekes , Bnaten Selatan, mempergunakan angklung sebagai alat musik upacara pada waktu menjelang menanam padi di ladang, sebutannya Angklung Buhun.
Angklung Gubrag di kampong Jati, Serang, dianggap alat musik sacral, untuk mengiringi mantera pengobatan orang sakit atau menolak wabah.
Seperti halnya di Kanekes, di sekitar Kulon Progo terdapat angklung yang digunakan dalam upacara Bersih Desa, permulaan musim menggarap sawah, disebut Angklung Krumpyung. Demikina pula di desa Ringin Anca dan Karangpatian, Ponorogo, upaca Bersih Desa biasa diiringi Orkes Angklung.
Pada umumnya dewasa ini di berbagai tempat, angklung merupakan alat kesenian yang profan, seperti halnya di Madura. Di pulau itu, sepanjang pengetahuan saya angklung hanya terdapat di Desa Keles, Kecamatan Ambuten, dan di desa Biuto, Kecamatan Srunggi, keduanya termasuk wilayah kabupaten Sumenep, biasa digunakan untuk memeriahkan arak-arakan.
Akan tetapi dewasa ini menurut beberapa tokoh kebudayaan dan pejabat-pejabat Kanwil Depdikbud Kalimantan Barat, di wilayah itu tidak terdapat lagi angklung tradisional.
Di Kalimanatan Selatan sekarang masih terdapat angklung tradisional yang dikenal dengan sebutan Kurung-kurung, biasanya digunakan untuk mengiringi pertunjukan Kuda Gepang (Sie) yang bentuk dan cara pertunjukannya hampir sama dengan Kuda Kepang di Jawa Tengah.
Menurut keterangan, Kata Gepang disini berarti gepeng atau pipih. Jadi berlainan dengan arti anyaman, walaupun bentuk dan kuda-kudanya sama, yaitu terbuat dari anyaman bambu.
Di Lampung pada masa-masa yang lalu terdapat pula angklung tradisional, yang contohnya dipamerkadi Museum Leidan, Negeri Belanda dengan katalogus No. 40/58. Namun sekrang sulit untuk mendapatkan keterangan mengenai angklung tradisional di wilayah tersebut, kecuali yang dikembangkan oleh beberapa kelompok transmigran dari Jawa.


v  CARA MEMAINKAN ANGKLUNG
v  Hal – hal dibawah ini merupakan cara memegang, menggetarkan dan memainkan angklung yang selama ini dianggap paling tepat.
Ø  Posisi angklung adalah tabung yang tinggi berada di sebelah kanan pemain, dan yang kecil berada di sebelah kiri, dengan posisi lurus, tidak miring.
Ø  Tangan kiri pemain memegang angklung pada bagian simpul atas angklung dan tangan kanan memegang angklung pada bagian bawah angklung. Posisi tangan kiri dapat menggenggam ke arah bawah maupun ke arah atas. Kedua tangan diharapkan dalam posisi lurus.
Ø  Tangan yang bertugas menggetarkan angklung adalah tangan kanan, sedangkan tangan kiri hanya memegang angklung, tidak turut digerakkan. Gerakan tangan kanan adalah arah kanan ke kiri, dan gerakan dilakukan dengan cepat dari pergelangan tangan
Ø  Apabila pemain memegang lebih dari satu angklung, maka angklung yang berukuran lebih besar ditempatkan lebih dekat dengan tubuh. Apabila ukurannnya cukup besar, angklung dapat kita masukkan ke dalam lengan pemain. Kalau kecil, angklung tetap dipegang dengan jari, tetapi harus tetap ada jarak antar angklung sehigga tidak saling bersinggungan.

v  Memainkan angklung ada beberapa cara:
Getaran panjang
Angklung digerakan panjang sesuai dengan nilai nada yang dimainkan, sehingga nada dimainkan secara sambung menyambung.

Staccato
Angklung tidak digetarkan seperti biasanya, tetapi dengan cara dicetok, sehingga menghasilkan bunyi yang pendek. Biasanya cara memegang angklung untuk menghasilkan bunyi seperti ini adalah dengan sedikit memiringkan angklung dan tabung dasar kanan angklung dipukulkna ke tangan kanan.

Tengkep
Cara ini dimainkan dengan menahan atau menutup tabung kecil sehingga tidak ikut berbunyi. Getaran untuk cara ini tetap panjang dan disambungkan. Cara ini dilakukan jika ingin menghasilkan suara yang lebih halus.
v  ARTI ANGKLUNG
v  Angklung adalah alat musik tradisional yang berasal dari Jawa Barat, terbuat dari bambu, yang dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras (nada) alat musik angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan adalah salendro dan pelog.
Adapun jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah awi wulung (bambu berwarna hitam) dan awi temen (bambu berwarna putih). Purwa rupa alat musik angklung; tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk wilahan (batangan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.
Angklung merupakan alat musik yang berasal dari Jawa Barat. Angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke Bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.


                   Di Bawah Bulan Separuh

              Ini perjalanan pertamaku menjejakkan kaki ke kotamu, kampung kelahiranmu. Tak pernah terbayangkan sebelum ini, aku bisa sampai ke kotamu. Pulau Sumatera sungguh tak pernah masuk dalam peta anganku. Tetapi, sebulan lalu, tiba-tiba --seperti mimpi-- aku bisa menyeberangi laut dan Selat Sunda. Mimpikah aku? Kau meyakinkan aku, kalau aku dalam dunia nyata. Kau cubit lenganku, kau sentuh pipiku. Terasa kan? Aku mengangguk. Berarti aku memang tidak bermimpi.

                Kapal cepat yang menyeberangkan aku dari Dermaga Merak ke Pelabuhan Bakauhuni telah menjadikan nyata bagiku bisa sampai ke kota kelahiranmu. Di sini, pertama sekali yang kucicipi adalah buah durian. Menurutmu buah berkulit duri tajam ini adalah makanan yang nikmat, bisa dibuat apa saja. Bisa dimakan langsung, diawetkan hingga menjadi nama lain yaitu tempoyak, dodol durian. "Atau bisa kita campur sambal untuk lauk makan nasi. Makanmu bisa bergairah, tiga piring tanpa kau sadari bisa masuk ke mulutmu," katamu.

               Wow! Aku pun ingin membuktikannya. Lalu kau ajak aku ke Kafe Yayang di Jalan Cut Nyak Dhien Kota Bandar Lampung. Aku menyantap banyak tempoyak yang telah dicampur sambal terasi (kau menyebut sambal khas kampung kelahiranmu ini adalah seruit). Rasanya pedas sekali. Tetapi aku suka. Keringat membasahi wajahku, terutama di bagian kening dan kedua bibirku.

"Kau makan sampai luah iting1," katamu. Aku tersenyum. Tak mengerti maksud bahasamu.

                Aku hendak menghentikan makanku, tapi kau terus menyodorkan makanan lainnya. Kau bilang yang terhidang di meja ini semua makanan khas di sini. "Kau bisa mencicipi sekadar, kalau kau sudah kenyang. Kapan lagi kau bisa ke kota ini kalau kau tak mencicipinya sekarang?" Kau benar. Aku mencicipi semua hidangan yang tersedia. Meski cuma secuil, sekadarnya. Aku jadi ingin berlama-lama tinggal di kotamu. Aku ingin memetik durian langsung dari pohonnya. Kau tahu, tiba-tiba aku mencintai kotamu, seperti aku mencintaimu. Ah, benarkah aku mencintaimu? Kupikir begitu. Meski tak sebesar cintamu padaku.

                 Cuma, sudah tiga hari di sini aku belum mendengar orang berbicara dengan bahasa ibunya. Tapi dengan bahasa nasional. Aku jadi heran. Kau pun menjelaskan, "Inilah demokratisnya orang Lampung, meski akhirnya bahasanya sendiri seperti tersingkir." Dan, katamu lagi, "Kami tak pernah terusik. Malah banyak orang asli yang pandai berbahasa etnis lain. Inilah kekuatan kami, terbuka bagi pluralisme," katamu. Aku mengangguk. Tersenyum. Tiba-tiba aku merasa ingin kau gandeng saat menuruni Kafe Diggers, malam ini.
Aku akan menetap di sini selama 3 bulan. Sebagai mahasiswa semester akhir, aku mengambil tugas PKL (Praktik Kerja Lapangan). Aku sengaja memilih PKL di daerahmu agar aku bisa selalu bersama-sama denganmu. Selain itu, katamu sebelum aku mengambil pilihan lokasi PKL, aku bisa mengenal lebih dekat keluargamu secara langsung. Itu kau katakan di suratmu sebelum aku berangkat ke kotamu.

Kalau saja kau melihatku waktu itu, aku hanya mengerutkan keningku seraya berkata dalam hati: Benarkah itu? Benarkah aku telah memilihmu sebagai calon pendamping hidupku? Setahuku aku hanya ingin bisa berduaan denganmu. Itu saja.

"Aku ingin mengenalkanmu pada keluargaku. Terutama orang tuaku dan adik-adikku. Mereka pasti senang menerimamu. Kau gadis Jawa, ayu dan cantik!" pujimu. Aku tersipu. Kurapatkan bibirmu dengan telapak tanganku. Supaya kau tak mengumbar pujian (mungkin rayuan?) untukku.

***
AKU mengira kotamu masih belantara. Masih banyak binatang buas. Menyeramkan. Penjahat beringas. Kenyataannya, kotamu nyaris sama dengan kota-kota lain di negeri ini yang telah maju. Pembangunan sangat pesat. Di sini ada pula swalayan, supermarket, dan bangunan lainnya yang mencerminkan kota maju. Orang tuaku, terutama ibuku, sempat ragu dengan keputusanku memilih lokasi PKL di kotamu. Ia khawatir aku akan terlantar di kampung halaman orang. Tak bisa lelap karena risau diganggu binatang buas. Itu juga yang membuatmu agak kecewa. Aku memang pernah berkata, "Kalau kau hanya menunjukkan pembangunan yang pesat di daerahmu, sudah tak asing dan khas lagi." Aku setengah protes, tapi setengahnya lagi aku hendak bertahan.

Bagaimanapun kota kelahiranmu memang mengasyikkan. Aku merasakan warganya selalu akur-akur saja, damai-damai saja. Buktinya di sini tak pernah terjadi kerusuhan yang mencapai genting hingga membahayakan keutuhan. Benarkah itu? Aku masih belum yakin. Berbagai etnis ada di daerah ini, bagaimana mungkin bisa hidup tanpa pernah terjadi pergesekan? Tetapi, sudahlah, aku tak sedang mempersoalkan sosiologi di kampung kelahiranmu.

Sebelum memulai tugas PKL di Desa Bakung2, kau sempat mengajakku mengunjungi Taman Nasional Bukit Barisan di Bengkunat3 yang menawan. Dan jika dikelola, tentunya bisa mendatangkan devisa bagi pemerintah. Aku sempat ketakutan kala warga Bakung melakukan protes soal tanah ulayat dengan perusahaan pabrik gula. Protes itu berkembang menjadi pertikaian. Ada yang tewas dalam insiden itu. Wajar bila warga Bakung protes, karena ganti rugi tanah ulayat mereka yang digunakan ladang tebu oleh pabrik gula milik keluarga Cendana, sungguh tak wajar. Hanya saja dulu mereka tak berani. Kasus tanah ulayat Bakung itu menarik. Kau memberi banyak informasi dan data tentang itu. "Kau bisa membuat penelitian tentang kasus tanah di situ. Menarik, sangat menarik." Aku tertarik. Kemudian setiap malam aku banyak mengobrol, diskusi, dan masuk ke dalam denyut napas orang-orang Bakung. Kau selalu setia menemaniku.

Aku suka tinggal di rumah orang tuamu daripada di rumah yang disediakan Pak Camat Ari Zamzari selama masa PKL. Rumah tinggalmu terkesan khas: rumah panggung. Suatu hal baru yang tak kujumpai di tanah Jawa. Seluruh penyangga rumahmu terbuat dari kayu. Kayu dari batang yang kuat dan tahan lama. Katamu sudah hampir 70 tahun. Rumah khas seperti itu kini banyak disukai orang-orang berduit dari kota.

Aku jadi ingin menetap di sini kelak. Setelah kau menyunting aku, tentunya. Tetapi, mungkinkah itu? Menurut adatmu, anak tertua sebagai penyimbang, harus menikah dengan gadis asli daerahmu. Kau menyebutnya muli.4 Dengan begitu kau bisa mendapatkan warisan. Anak-anakmu akan mendapatkan gelar dan diperkenankan cakak pepadun.5

Aku yang bukan gadis asli daerah ini bagaimana mungkin bisa mendampingimu? Aku sempat ragu juga. Meski orang tuamu, keluargamu, tampak baik-baik saja denganku. Keluargamu sangat menerima kehadiranku. Itulah yang membuatku betah selama PKL. Namun, diam-diam aku juga bertanya pada diriku sendiri. Sungguhkah aku ingin menikah denganmu? Jangan-jangan tidak. Jangan-jangan aku salah menafsirkan perasaanku padamu. Dan pikiranmu tentangku selama ini keliru. Entahlah. Aku takut dengan rahasia yang kusimpan sendiri. Aku merasa memiliki cinta untukmu. Tapi seberapakah? Dan berhakkah aku?

***
MALAM di Rawa Jitu, aku sempat gemetar. Tulang-tulang persendianku seperti hendak copot. Benar-benar aku dicekam ketakutan. Waktu itu kau tak menemaniku. Kau mendapat tugas mendampingi klienmu di Menggala, ibu kota Tulangbawang.

Bagaimana aku tidak ketakutan. Bahkan aku nyaris mati berdiri. Sekawanan gajah menyerbu perkampungan. Warga menghidupi puluhan obor, tapi kawanan gajah itu tak juga kembali ke belantara. Bahkan parit dengan kedalaman 1,5 meter yang dibuat warga sebagai benteng, bisa dengan mudah dilewati para gajah itu. Kawanan hewan tambun berbelalai panjang itu menggasak rumah-rumah warga. Memorak-porandakan isi rumah, merusak perkebunan warga. Mencabuti ladang singkong dan tebu.

Kami dicekam ketakutan. Kentongan dari kayu tak henti dipukuli. Biar riuh. Agar gajah-gajah itu masuk kembali ke habitatnya. Sayangnya itu sia-sia. Seorang ibu dan dua anak-anak diremukkan dengan belalainya sebelum dilempar ke semak. Mati. Ya, malam itu tiga warga di situ tewas. Pertempuran tak sebanding. Pikirku. Aku benar-benar takut. Gigil. Tiba-tiba aku teringat pada ibuku di Jawa. Apakah ia merasakan apa yang kualami sekarang? Sebuah rasa ketakutan yang sempurna. Aku menyelamatkan diri ke kampung sebelah. Dievakuasi ke daerah lain. Tak hendak lagi menetap di rumah yang disediakan camat. Aku memilih tinggal di rumahmu, bersamamu. Sampai masa PKL-ku selesai.

"Bukankah ini yang kau inginkan?" kau berbisik. Bulan separuh di langit. Kita duduk di bawah pohon jambu dekat rumahmu. Agak temaram. Aku menikmati tanganmu membelai rambutku. Kau masih seperti waktu di kampus dulu. Amat sayang dan memperhatikan aku.

"Sudah berapa lama kita tak seperti ini, ya?"

Kau memandangku sejenak. Kau tak menjawab. Rasanya memang pertanyaanku itu tak memerlukan jawaban. Memang kau lebih dulu selesai. Kau cerdas. Apalagi kau selalu mengambil kuliah pintas, semester pendek. "Aku ingin segera menyelesaikan kuliah. Kasihan orang tuaku di kampung, aku ingin mengabdi pada mereka," katamu. Kau pun berjanji akan tetap bersamaku, akan selalu mencintaiku. "Aku ingin kau menjadi ibu dari anak-anakku…"

Aku percaya. Itu bukan rayuanmu. Kau pun segera bekerja, sebagai pegawai negeri di instansi Departemen Kehakiman. Kau ditempatkan di kantor kejaksaan di kotamu. Surat-suratmu tetap mengalir kuterima. Tapi aku juga tetap membawa rahasia diriku. Tentang cintaku padamu. Yang aku sendiri tak begitu mengerti. Dan kau tak pernah tahu.

"Aku mengagumi ketegasanmu, kekonsistenanmu," aku memuji. Kau hanya tersenyum. Aku getir. Entah kenapa. Merasa bersalahkah? Atau aku mulai bermain lidah? Membohongimu dengan kata-kataku. Kalau saja tidak karena urusan kuliah dan aku harus segera ujian akhir, mungkin aku akan berlama-lama lagi menetap di kampung kelahiranmu. Aku sudah telanjur jatuh hati dengan kampungmu, dengan keterbukaan warganya, dan keramahan keluargamu. "Terutama denganmu, sayang…" kataku. Tapi bagaimanapun, aku harus pulang. Kembali ke Jawa. Kembali berpisah denganmu. Dengan sebuah rahasia dalam diriku. Tentang cintaku. Diriku.

***
AKU telah mendapat gelar kesarjanaanku. Kau tak datang saat wisudaku karena pekerjaanmu mengharuskan kau tetap ada di kotamu. Aku maklum. Atau….Entahlah. Aku maklum atau justru tak terlalu peduli. Saat itu, di gedung auditorium kampusku, seorang lelaki lain berdiri di sampingku. Ya. Dialah yang mendampingiku selama acara wisudaku berlangsung. Dan, kau tak tahu itu.

Kini aku masih menganggur. Aku tak secerdas kau. Aku harus mencari pekerjaan dengan sekian peluhku. Tak seperti dirimu yang justru dicari-cari pekerjaan. Banyak perusahaan menunggu dan menawarimu pekerjaan bahkan sebelum kau lulus dari universitas. Bulan demi bulan berjalan dengan cepat. Surat-suratmu masih menyapaku, meskipun semakin jarang saja. Aku tahu kenapa begitu. Bukan karena kau tak mencintaiku lagi, tapi barangkali kau lelah dan bingung. Kau pernah bilang ingin melamarku, tapi ternyata kau harus berhadapan dengan sebuah dinding yang membuatmu begitu dilematis. Keluarga besarmu memang pernah menerimaku dengan baik saat aku di kotamu.


              Ya. Mereka menerimaku sebagai tamu mereka. Temanmu. Tapi sesungguhnya, mereka tetap menginginkan kau kelak menikah dengan gadis satu suku denganmu. Berarti bukan aku. Tapi anehnya, aku tak bersedih karena hal itu. Atau berusaha untuk tidak sedih? Atau tidak berani untuk bersedih? Ah. Jika kuingat siapa aku, aku merasa tak berhak untuk bersedih. Aku mengingat dirimu. Juga surat-suratmu yang kian tak menemuiku di sini. Sedang apakah kau di sana, sayang? Adakah kau mengira aku tengah menangisi nasib cinta kita yang kemungkinan besar tak bisa bersatu? Ah. Tiba-tiba aku ingin sekali memberitahumu yang sebenarnya terjadi padaku di sini.

               Aku mencintaimu. Tapi aku tak pernah bisa meyakini diriku sendiri. Aku, sesungguhnya, tak sebaik yang kau kira. Aku bermain di belakangmu. Dengan semua rahasia tentang cintaku. Diriku. Dan kau tak pernah sekali pun tahu. Mungkin, kau tak pernah benar-benar mengenalku. Ataupun kehidupanku. Keluargaku. Terlebih setelah kau menjadi demikian bisu. Jarang menghubungiku. Keadaan yang mungkin telah membuatmu luka itu, juga surat-suratmu yang hanya sesekali kau kirimkan padaku, malah menjadi alasan untukku menyelamatkan diri darimu. Dengan semua permainanku selama ini di belakangmu. Aduh, sayang, maafkan aku.  Atau aku malah mensyukuri keadaan yang menimpa cinta kita? Mungkinkah aku memang benar-benar mencintaimu? Hanya aku tak berani (malu?) untuk menempuh hidup bersamamu? Aku memang telah tahu keluargamu. Mereka sangat baik, bahkan padaku. Tapi kau sama sekali tidak tahu siapa keluargaku. Iya, kan?

             Dan entah kau sadari atau tidak, aku sengaja tak pernah mengajakmu untuk menemui keluargaku. Mengenal ibuku yang menderita sakit sejak aku kembali dari kotamu. Kau pun tak tahu kalau aku tak mempunyai ayah lagi. Sungguh, kau tak mengenalku. Selama ini aku yang kau lihat bukanlah aku yang sebenarnya. Maka ada rasa senang ketika kutahu keluargamu menolak rencanamu untuk menikahiku. Aku pun tak memrotesmu ketika kau mulai jarang menyuratiku disini. Mungkin ini yang terbaik untukmu. Karena kau tak tahu aku. Barangkali, kalau kau tahu siapa aku, kau juga akan langsung meninggalkanku begitu saja. Barangkali tak akan pernah ada rencana pernikahan kita di kepalamu.

             Aku duduk di sisi kanan ranjang yang menopang tubuh kurus ibuku, di rumah kami yang sempit. Sudah cukup lama ia sakit. Dan sudah begitu banyak obat yang masuk ke perutnya. Tapi ia tak juga beranjak sembuh. Malah sebaliknya. Dadaku sesak. Memikirkan keadaan keluargaku. Ibuku, dan dua adikku yang masih kecil-kecil. Uang yang kumiliki telah terkuras untuk membeli obat-obatan ibuku. Aku beruntung masih bisa menyelesaikan kuliahku. Aku ingat pada kekasihku di seberang. Semua kenangan indahku bersamanya di kota kelahirannya, masih kuingat dengan sangat rapi. Kini aku tak pernah lagi mendengar kabarnya. Barangkali dia sudah menikah, pikirku. Entahlah. Aku pun ingin menghilang darinya. Saat ini aku harus memfokuskan diriku untuk keluargaku. Agar adik-adikku tidak terlantar. Seperti selama ini akulah tiang keluarga ini. Dan aku berhasil. Bahkan dapat membiayai kuliahku. Meski, cara yang kupilih ini tidak sesuai dengan hatiku sendiri. Tapi, aku terpaksa melakukannya.

Mataku berkaca-kaca. Kesejukan udara pagi berubah menyakitkan bagiku. Suara embun yang menitik di daun kurasakan seperti jarum-jarum yang menusuki dadaku. Aku berusaha menahan rasa sedihku. Di hadapanku, ibuku menghembuskan napasnya yang terakhir. Dua adikku hanya menangis dan menangis. Aku pusing. Malam menjemputku. Ini malam ke sepuluh setelah kematian ibuku. Kegelapannya seolah berusaha menutupi semua kesedihan yang terlukis di wajahku. Aku masih menganggur. Tapi aku tak mungkin menunggu lebih lama lagi. Aku dan kedua adikku harus melanjutkan hidup kami. Demi mereka, batinku. Maka….

***
AKU telah berdandan rapi. Seperti yang biasa kulakukan selama aku masih kuliah dulu. Kutinggalkan rumah. Ada rasa jengah pada diri sendiri. Tapi kumusnahkan. Aku kembali pada pekerjaan lamaku. Menjadikan malam-malamku sebagai ajang pertempuran. Pergumulan. Aku membayangkan sekian lembaran uang kertas di tanganku besok pagi.
Seorang lelaki kini tengah menindih tubuhku yang telanjang. Di sebuah hotel, kamar 105…

***
MUNGKIN kau tak akan pernah tahu, atau sama sekali tak mau peduli, tentangku. Aku pun begitu. Tak pernah mengharap, bahkan untuk selembar kabar darimu. Meski kenangan-kenangan semasa aku di kampung kelahiranmu, tak pernah akan pupus. "Setiap tamu datang dan meminum air sungai ini ia pasti akan kembali. Air sungai ini seperti menghipnotisnya. Sungai Tulangbawang ini kami yakini bertuah," ujarmu. Di bawah bulan separuh. Langit cemerlang. Sungai tua bernama Tulangbawang6 tengah tenang berombak, di kejauhan tampak samar-samar. Waktu itu aku tak begitu yakin. Itu hanya dongeng. Legenda. Bisa kita lupakan. Ternyata benar. Aku tak akan pernah kembali ke kampung kelahiranmu. Meski kenangan-kenangan itu masih terang di benakku. Juga tentang dirimu. Cinta kita. Kubiarkan segala kenangan dan cinta kita tetap ada, betapa pun aku telah berpindah-pindah dari lelaki satu ke lelaki yang lain. Masuk hotel dan keluar hotel. Ditiduri. Kota ini akan menyembunyikan diriku. Tak seorang pun tahu. Seperti malam ini, jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 03.15, dengan langkah gontai karena kebanyakan air beralkohol kutinggalkan kamar hotel itu. Pulang. Ya. Sebelum pagi menjemput. Sebelum bulan separuh di atas kepalaku lesap diperaduannya. Aku masih saja terkenang kampung kelahiranmu yang menyimpan selaksa harapan. Ya, harapan…***